Harian Analisa, Medan
Jumat, 20 Maret 2009
Buddha Bar & Etika Bisnis
Oleh : Ponijan Liaw
Seorang pria bernama Morgan Spurlock mengadakan sebuah percobaan iseng. Ia adalah pria dewasa yang sehat, segar bugar, siklus hidupnya bagus, dan tidak memiliki masalah kesehatan yang berarti. Ia kemudian nekat mencoba untuk mengonsumsi junk food dari sebuah perusahaan makanan cepat saji yang cukup terkenal untuk membuktikan hipotesis bahwa junk food memberi ekses sangat negatif pada tubuh. Sebelum melakukan percobaan, Morgan sudah melakukan berbagai pemeriksaan klinis pada 3 dokter yang berbeda untuk mengetahui kondisi fisik dan psikisnya. Setelah itu, selama 30 hari berturut-turut ia hanya mengonsumsi junk food dari perusahaan tersebut, 3 kali sehari, dan setidaknya mencoba setiap menu yang ada minimal 1 kali. Selama periode tersebut, ia terus melakukan pemeriksaan medis. Walau demikian, aktivitas kesehariannya tetap ia lakukan seperti biasa. Hasilnya ternyata mengamini hipotesis yang selama ini ia dengar. Selama 30 hari, Morgan sering mengalami stres dan depresi, sesak nafas, pusing, sulit tidur, dan bahkan, pasangannya mengeluhkan adanya pengaruh buruk dalam kehidupan seksual dan vitalitasnya. Selama 30 hari tersebut, Morgan mengalami kenaikan berat badan 24,5 pon, kadar kolesterol membengkak hingga 230, dan tingkat kegemukan sebesar 18 persen. Cerita di atas adalah kisah nyata yang diambil dari Super Size Me, sebuah film dokumenter karya Morgan Spurlock.
Fenomena di atas akhirnya berhasil memicu dan memacu warga dunia untuk menelaah dan meninjau kembali produk dan jasa praktik kapitalisme global itu secara lebih dekat dan serius. Sebenarnya tidak ada yang “salah” dengan kapitalisme. Kapitalisme, yang didasarkan pada perdagangan, disebut Adam Smith sejak lama sebagai kunci kemakmuran. Ide ini sudah dibuktikan secara empiris oleh para akademisi. Dengan adanya perdagangan, maka spesialisasi, penghargaan, kebersamaan, perdamaian, serta kemakmuran bisa tercapai. Yang salah adalah ketika kapitalisme dijalankan dengan melanggar etika sehingga menodai nilai-nilai murni perdagangan itu sendiri.
Apa Itu Etika Bisnis?
Definisi etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz): etika adalah disiplin yang berhubungan dengan hal-hal yang disebut baik dan buruk yang berhubungan dengan kewajiban dan penegakan moral. Etika juga bisa dianggap sebagai seperangkat nilai dan prinsip moral. Moralitas adalah doktrin atau sistem perilaku. Etika bisnis, karenanya, berkaitan erat dengan praktik benar atau salah (etika), baik atau buruk (moral), indah atau jelek (estetika). Dengan demikian, secara etika dan moral tentu produk junk food di atas dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak memenuhi kriteria ini. Dengan kata lain, etika bisnis disini telah diabrasi dan dimarjinalisasi oleh praktik kapitalisme global ini. Tidak ada perhatian, baik secara moral, etik, mau pun humanistik terhadap apa yang akan terjadi pada orang yang mengonsumsi makanan/minuman yang disajikan. Yang penting laba bisa diraih dalam hitungan deret ukur. Ini sungguh praktik bisnis barbar yang tidak dapat dibenarkan.
Buddha Bar
Soal kedua yang bersinggungan dengan etika bisnis yang menguras energi kognisi dan afeksi secara nasional saat ini adalah eksistensi Buddha Bar. Jika tadi etika berkaitan dengan produk konkret yang disajikan (kasus Morgan Spurlock), disini ada masalah yang lebih abstrak sifatnya: penodaan simbol-simbol suci suatu agama. Secara etika dan moral, jelas pendirian bar yang berkonotasi negatif sebagai tempat menenggak minuman keras dan praktik hedonistik, tentu melukai hati para penganut agama yang nama nabinya yang suci dan diagungkan disandingkan dengan bar dengan segala atributnya yang menegasi etika dan moral. Luka hati dan amarah umat Buddha itu semakin beralasan jika setiap orang memahami makna sesungguhnya dari kata Buddha itu sendiri. Secara kanonik, Buddha adalah manusia paling mulia yang telah mencapai pencerahan sempurna, bebas dari kekotoran batin dan penuntun jalan menuju ke pembebasan terakhir (nirvana). Bagaimana mungkin guru agung yang sangat dimuliakan oleh umat Buddha itu ’dipaksa’ menyaksikan praktik amoral penuh dengan pengingkaran butir-butir kitab suci di hadapannya? Karenanya, sangatlah tepat dan bijaksana ketika Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni terpanggil nuraninya untuk turun memberi fatwa. Ia menegaskan, tempat hiburan yang menggunakan simbol agama Buddha, seperti Buddha Bar, sebaiknya segera ditutup karena telah melukai perasaan umat beragama. Ia melanjutkan, “Jika tak ditutup, saya khawatir nanti ada Islam Bar, Kristen Bar. Dan, bar-baran lainnya,” begitu kata sang menteri yang ranah utamanya memang soal etika dan moral pada pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan agama, di Jambi. ’Fatwa Pemerintah’ ini akan semakin bermakna dan dijadikan acuan hukum formal jika sang menteri segera menuangkannya dalam surat resmi kepada pihak pengelola Buddha Bar. Kita tunggu kristalisasi ucapan itu menjadi keputusan.
Kedua kasus di atas, produk penurun tingkat kesehatan (junk food) dan penodaan simbol-simbol suci agama (Buddha Bar), menggiring setiap insan berhati nurani menggugat dan terus mempertanyakan bagaimana etika bisnis diaplikasikan. Alasan bahwa itu adalah usaha waralaba yang aturan dan segala pernak-perniknya telah diatur oleh hukum internasional tentu tidak dapat diterima begitu saja. Korporasi dengan kapitalisme global yang hanya berniat menyuntikkan segala paham dan idealismenya demi mengeruk pundi-pundi ke setiap negara harus segera dilaporkan ke organisasi perdagangan dunia (WTO) untuk segera dicabut hak jaringannya. Karena, setiap negara pasti memiliki perangkat aturan, norma dan tradisi yang harus dihormati dan ditaati. Wejangan para leluhur pun sudah jelas, ’dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.’
Sebagai penutup ada baiknya setiap orang merenungkan hakikat eksistensi kehidupannya di dunia ini. Apalah artinya harta, jika mati dinista? Apalah artinya nama, jika mati dicerca? Karenanya, janganlah menumpuk pundi-pundi dengan menodai religi. Pundi adalah duniawi, religi adalah surgawi. Hidup senang, mati tenang.
Mungkin itu bisa menjadi renungan sebelum membuka usaha baru. Semoga kapitalisme barbar akan segera berakhir dengan etika bisnis sejati.
***Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan, Penulis Buku-buku Komunikasi & Zen, tinggal di Jakarta, Email: ponijan@central. net.id.
0 comments:
Post a Comment